Jatuh Dari Sepeda

Jatuh Dari Sepeda

Oleh: Fahmi Mulyani

Entah apa yang saat itu aku pikirkan atau mungkin karena aku yang terlalu senang, tiba-tiba saja aku terjatuh dari sepeda yang aku kendarai. Aku tidak melihatnya, batu yang lumayan besar baru saja kutabrak. Akibatnya, kepalaku benjol dan kedua lututku lecet. Lemas, pusing, dan rasa sakit yang saat itu kurasakan.


Cerita pendek tema sepeda

Saat itu aku berumur 7 tahun, dan aku baru masuk Sekolah Dasar. Budi dan Tono adalah teman sekelasku, dan mereka duduk satu bangku denganku. Budi dan Tono memiliki hobi yang sama, yaitu bersepeda. Setiap pulang sekolah mereka selalu mengendarai sepedanya mengelilingi kampung. Sepertinya asik melihatnya bersepeda. Aku juga ingin bisa bersepeda, tetapi aku tidak bisa mengendarainya. Suatu hari, Budi dan Tono datang ke rumahku untuk mengajakku bermain sepeda.

“Fahmi, main yuk!” seru Budi dan Tono.

“Eh Budi, Tono. Main kemana?” tanyaku.

“Kita sepedahan yuk ke lepangan,” ajak Budi.

“Tapi aku gapunya sepeda.”

“Pake yang aku aja dulu, nanti gantian.”

“Yaudah hayu!”

Lalu kami pun berangkat ke lapangan. Meskipun aku belum bisa bersepeda, tapi Budi dengan sabar mengajariku. Sedikit demi sedikit aku mulai lancar bersepeda. Ternyata tidak terlalu sulit untuk mengendarainya. Mulai saat itu setiap pulang dari sekolah, Budi dan Tono datang ke rumahku untuk mengajakku bermain sepeda.

Di umur 8 tahun tepatnya pada tanggal 15 November 2007, ayahku membelikanku sepeda. Senang rasanya Allah swt. telah mengabulkan doaku. Aku pun tidak lupa untuk mengucapkan rasa syukurku kepada-Nya. Sekarang aku tidak lagi harus meminjam sepeda kepada Budi ataupun Tono untuk bersepeda. Meskipun sepedaku tidak begitu mahal, tetapi aku sangat menyukai sepeda yang dibelikan oleh ayahku.

Libur akhir tahun telah tiba. Selama liburan, aku lebih sering menghabiskan waktuku bersama Budi dan Tono. Waktu itu hari minggu, kami bersepeda jauh sekali sampai ke kampung tetangga. Kami juga mengunjungi rumah-rumah teman sekelas lainnya dan mengajaknya untuk bermain. Suasana menjadi tambah ramai ketika teman sekelas yang lainnya ikut bergabung. Karena banyak sekali teman yang ikut bermain, lalu Budi membeli bola, dan kami pun pergi ke lapangan untuk bermain bola. Senang rasanya bermain bola dengan mereka, dan itu merupakan hari liburanku yang sangat mengasyikan. Hari sudah senja, aku dan teman-temanku pun bergegas untuk pulang. Aku, Budi, dan Tono pulang mengendarai sepeda. Angin berhembus begitu kencang menerpa wajahku. Rasa lelah terasa seperti hilang direnggut angin. Tiba-tiba terlintas di pikiran Budi untuk mengajakku dan Tono untuk balap sepeda.

“Eh Ton, Mi, kita balapan yuk! Siapa yang nyampe masjid duluan dia yang menang.” Ujar Budi.

“Aku sih hayu aja, kamu gimana Ton?” tanyaku kepada Tono.

“Boleh, tapi ga seru kalo yang menang ga dapet apa-apa. Nanti aku yang rugi lah!” jawab Tono dengan wajah percaya dirinya .

“Kaya yang mau menang aja kamu Ton!” balas Budi sambil tertawa.

“Yaudah gini aja! Yang nyampe masjid duluan, dia dipijitin sama dua orang yang nyampe masjidnya belakangan. Gimana?” kataku.

“Siapin aja tangan kalian buat mijit-mijit kakiku!” jawab Tono sambil tertawa kecil.

“Buktiin aja Ton!”

Balapan pun dimulai, kukayuh sepedaku dengan kecepatan tinggi tanpa memikirkan apa yang akan terjadi. Di tengah perjalanan, aku berada paling depan. Jarak antara aku, Budi, dan Tono lumayan cukup jauh. Masjid sudah terlihat tepat di depan mataku kurang lebih 20 meter lagi. Aku melamun dan membayangkan Budi dan Toni memijat kakiku. Karena tidak fokus dengan mengendarai sepedaku tiba-tiba saja aku terjungkal. Tanpa aku sadari ternyata aku telah menabrak batu yang lumayan besar. Aku lemas dan tak berdaya, badanku terasa kaku untuk digerakkan. Tak lama Budi dan Tono datang menghampiriku.

“Mi, kamu gapapa?” tanya Budi dengan paniknya.

“Kaki kamu berdarah,” ujar Tono kepadaku.

Kemudian Budi bergegas ke rumahku untuk memberitahukan berita ini pada orangtuaku, sementara Tono menggandengku dan memindahkan sepedaku ke bahu jalan. Untungnya pada saat itu tidak ada yang melihatku saat aku terjatuh, jadi aku tidak terlalu malu. Tak lama ayahku datang dengan sepupuku, lalu aku digendong oleh ayahku dan sepedaku didorong oleh sepupuku. Budi pun merasa bersalah karena telah mengajakku untuk balapan.

“Maaf yah, Mi. Gara-gara aku udah ngajak kamu balapan kamu jadi jatuh dari sepeda,” ujar Budi dengan tampang rasa bersalahnya.

“Bukan salah kamu kok, Bud. Gausah minta maaf, emang akunya aja yang ceroboh.”

Sepeda yang ayahku belikan, kini rusak tak bisa dikendarai lagi. Sesampainya di rumah, aku mengira jika ayahku akan memarahiku karena sepeda yang ia belikan telah rusak. Ternyata ayahku justru malah mengambil air panas dan kain, lalu lukaku dibersihkan. Setelah lukanya dibersihkan, ayahku menasehatiku.

“Kalo bawa sepeda itu yang bener, fokus bawa sepeda aja. Jangan mikirin yang lain!” ujarnya.

Keesokan harinya, ketika aku membuka jendela kamarku. Terlihat sebuah sepeda yang tidak asing lagi bagiku. Tidak salah lagi, itu adalah sepedaku hanya saja warnanya telah diubah. Sepeda yang tadinya rusak, seolah-olah telah disihir oleh ayahku terlihat seperti baru lagi. Kini aku tidak lagi harus sedih dengan sepedaku, dan aku tidak akan pernah melupakan nasehat ayahku.